Pengerian pasar oligopoli & monopoli
Pengerian pasar oligopoli & monopoli
Pasar Oligopoli adalah suatu bentuk pasar yang terdapat
beberapa penjual dimana salah satu atau beberapa penjual bertindak sebagai
pemilik pasar terbesar (price leader). Umumnya jumlah perusahaan lebih dari dua
tetapi kurang dari sepuluh.
Dalam pasar oligopoli, setiap perusahaan memposisikan
dirinya sebagai bagian yang terikat dengan permainan pasar, di mana keuntungan
yang mereka dapatkan tergantung dari tindak-tanduk pesaing mereka. Sehingga
semua usaha promosi, iklan, pengenalan produk baru, perubahan harga, dan
sebagainya dilakukan dengan tujuan untuk menjauhkan konsumen dari pesaing
mereka.
Di Indonesia pasar oligopoli dapat dengan mudah kita jumpai,
misalnya pada pasar semen, pasar layanan operator selular, pasar otomotif serta
pasar yang bergerak dalam industri berat.
Ciri-ciri oligopoli
1. Terdapat beberapa penjual
2. Barang yang dijual homogen atau beda corak
3. Sulit dimasuki perusahaan baru
4. Membutuhkan peran iklan
5. Terdapat satu market leader (pemimpin pasar)
6. Harga jual tidak mudah berubah
Macam-macam Pasar Oligopoli
1. Oligopoli murni : menjual barang yang homogen. Biasanya
banyak dijumpai dalam industri yang
menghasilkan bahan mentah.
Contoh : pasar semen, produsen bensin
2. Oligopoli diferensial : menjual barang berbeda corak.
Barang seperti itu umumnya adalah barang akhir.
Contoh : pasar mobil, pasar sepeda motor
Kebaikan Pasar Oligopoli
1. Memberi kebebasan memilih bagi pembeli.
2. Mampu melakukan penelitian dan
pengembangan produk.
3. Lebih memperhatikan kepuasan konsumen
karena adanya persaingan penjual.
4. Adanya penerapan teknologi
Keburukan Pasar Oligopoli
1. Menciptakan ketimpangan distribusi pendapatan
2. Harga yang stabil dan terlalu tinggi bisa mendorong
timbulnya inflasi
3. Bisa timbul pemborosan biaya produksi apabila ada
kerjasama antar oligopolis karena semangat
bersaing kurang
4. Bisa timbul eksploitasi terhadap pembeli dan pemilik
faktor produksi
5. Sulit ditembus/dimasuki perusahaan baru
6. Bisa berkembang ke arah monopoli
Contoh Perilaku Oligopoli pada Industri Telekomunikasi
Ada hal menarik yang dapat dicermati dari gencarnya perang
tarif percakapan melalui telepon seluler akhir-akhir ini, yaitu masing-masing
provider mengklaim bahwa mereka telah memberikan harga terbaik bagi para
pelanggannya. Simak saja misalnya bagaimana perilaku tiga operator telepon
seluler terbesar di Indonesia (PT. Telkomsel, PT. Indosat, dan PT. Exelcomindo
Pratama) dalam mengibarkan bendera perang pemasaran dengan menawarkan tarif
percakapan di bawah Rp1 per detik. Terlepas dari iming-iming menarik yang
ditawarkan, perang tarif yang diluncurkan para operator telepon seluler kini
sebenarnya sudah memasuki ranah yang mengusik perhatian kita kalau tidak mau
dikatakan sudah membingungkan atau bahkan menjebak bagi pelanggan individual.
Kreatifitas para operator dalam merumuskan skema tarif
percakapan ternyata mampu mengacak-acak perilaku pelanggan sehingga membuat pelanggan
individual seringkali penasaran dan terpancing emosinya. Simak saja bagaimana
operator XL menawarkan tarif Rp 0,1 per detik ke sesama operator; sementara Telkomsel Simpati PeDe menawarkan
Rp 0,5 per detik. Indosat Mentari
menawarkan Rp 0 pada menit pertama ke sesama operator; dan IM3 menawarkan tarif
Rp 0,01 per detik ke seluruh operator untuk percakapan 90 detik pertama dan
selebihnya menggunakan tarif Rp 15 per detik ke sesama operator dan Rp25 per
detik ke operator lain. Belum lagi,
operator-operator lain kini juga mulai sibuk menawarkan tarif paling murah ke
sesama pelanggan dengan syarat dan kondisi tertentu.
Dengan perkembangan yang ada itu sebenarnya lumrah saja
kalau kemudian ada yang bertanya apakah memang pelanggan telepon seluler selama
ini telah diperlakukan secara wajar oleh para operator telepon? Pertanyaan ini muncul karena memang pelanggan
tidak memiliki informasi yang cukup mengenai berapa sebenarnya biaya produksi
yang dikeluarkan oleh para operator untuk menyediakan jasanya ke publik. Memang bukan menjadi kewajiban operator untuk
mendeklarasi urusan internal perusahaannya ke publik, tetapi persaingan tarif
yang terjadi sebenarnya secara implisit mengindikasi adanya ketidakwajaran
perolehan manfaat antara produsen dan pelanggan telekomunikasi. Pelanggan sebenarnya juga menyadari bahwa
investasi di telekomunikasi tidak bisa tergolong murah, terutama untuk
mendapatkan lisensi, memilih platform teknologi, dan kemudian membangun
infrastruktur fisik yang tersebar di seluruh wilayah negeri. Masyarakat kemudian bisa menerima berapa pun
tarif berbicara via telepon seperti yang ditawarkan oleh para operator. Pelanggan seolah tidak berdaya untuk menolak
tawaran harga yang disampaikan para operator karena masyarakat sendiri memang
seolah terbuai dengan janji manis dalam mobilitas berkomunikasi. Lebih dari itu, “rasa haus” berlebihan yang
selama ini dirasakan masyarakat akibat adanya kelangkaan akses dan koneksi
telepon seolah terobati dengan pemunculan peranti komunikasi bergerak, seperti
halnya mobile phone atau di Indonesia lebih populer dengan sebutan hand phone.
Mobilitas berkomunikasi kini seolah menjadi kebutuhan
masyarakat, dan bukan lagi barang mewah yang didominasi oleh sekelompok orang
berduit yang mampu membeli peranti telepon bergerak yang sekaligus juga
berfungsi sebagai simbol status seperti halnya yang terjadi pada era 1980-an
yang lalu. Masyarakat di negeri ini
nampaknya kini lebih cenderung untuk memperhatikan pada berapa besaran ongkos
percakapan yang wajar dibanding dengan membuat kalkulasi bertelepon dalam satuan
waktu tarif percakapan per detik yang murah.
Hampir semua operator memang memberi harga penawaran yang relatif lebih
murah untuk percakapan ke sesama operator dibanding tarif antar operator. Satu hal yang perlu mendapat perhatian
bersama adalah bahwa jebakan tarif seperti yang terjadi ini sebenarnya
mengingatkan masyarakat pengguna jasa telepon seluler untuk lebih berhati-hati
atau lebih pas untuk dikatakan lebih cermat terhadap tawaran telepon murah yang
diluncurkan oleh para operator.
Tesis yang diajukan dalam tulisan ini sebenarnya adalah
bahwa kalau industri telekomunikasi di negeri ini bergerak secara efisien,
sudah semestinya pelanggan mendapat harga layanan yang wajar. Jadi, pelanggan berhak mendapat kemanfaatan
atas sejumlah sumberdaya yang telah dikeluarkannya. Itu pula sebabnya, tulisan ini tidak
dimaksudkan untuk menolak adanya kecenderungan penurunan tarif telepon ke
sesama operator, tetapi justru lebih sebagai upaya untuk menyadarkan pelanggan
bahwa tawaran harga yang wajar, yaitu harga yang mendekati daya-beli bagi
pelanggan, sebenarnya adalah hak dan merupakan suatu hal yang perlu didapat
pelanggan dan bukan sekedar diberi iming-iming yang diumbar oleh para operator
telepon seluler.
Switching Behavior
Pada dasarnya iklim persaingan yang dihadapi oleh operator
telepon seluler di Indonesia kini sudah mendekati pada situasi yang bersifat
oligopoly. Ada tiga karakteristik kunci
yang melekat pada situasi pasar oligopoly, yaitu: (1) pergerakan industri
didominasi oleh kiprah beberapa operator dengan skala besar; (2) masing-masing
operator menjual atau menawarkan produk yang identik atau memiliki pembedaan
yang relatif terbatas; dan (3) industri memiliki barrier to entry yang
signifikan besarannya sehingga tidak mudah bagi pendatang baru untuk masuk ke
dalam industri yang dimaksud. Dari
perspektif operator telepon seluler, penerapan strategi pemasaran pada situasi
pasar yang bersifat oligopoli tentu memerlukan upaya ekstra terutama dalam
memaknai elastisitas harga terhadap besaran permintaan pulsa oleh pelanggan.
Secara teoritis, elastisitas harga terhadap permintaan suatu
produk akan sangat ditentukan oleh karakteristik pasar, kategori produk,
kategori branding yang melekat pada suatu produk, preferensi terhadap waktu,
dan kondisi perekonomian makro (lihat:Bijmolt, T.H.A., Van Heerde, J.H., dan Pieters, G.M.R.,”New Empirical
Generalizations on the Determinants of Price Elasticity”, Journal of Marketing
Research, Vol. XLII, May 2005, pp141-156). Satu hal penting dari temuan empiris
itu adalah bahwa upaya korporasi dalam mengakomodasi price endogeneity seperti
yang dimaksudkan itu ternyata mempunyai imbas yang kuat pada besaran
elastisitas harga suatu produk. Itu artinya, bagi kepentingan pelaku industri
telekomunikasi, perang tarif yang selama ini telah berlangsung sebenarnya hanya
dapat dijustifikasi sampai pada suatu titik di mana kebijakan penurunan tarif
per satuan waktu akan berimbas pada penurunan jumlah permintaan pulsa
telepon. Dengan kata lain, rasionalitas
ekonomis yang ada dalam benak pelanggan akan menentukan tingkat sensitifitas
mereka terhadap kebijakan agresif mengenai tarif telepon.
Dengan mencermati perkembangan pasar yang ada sekarang ini,
sebenarnya masih ada peluang bagi para operator untuk mendongkrak tingkat
penetrasi pasar, terutama untuk segmen yang berpotensi menjadi pengguna jasa
telekomunikasi di masa datang. Hanya
saja, hal yang mungkin perlu diwaspadai oleh para operator adalah bahwa bisa
saja, karena faktor emosi sesaat dalam menetapkan tarif psikologis seperti yang
diadopsi para operator selama ini, justru akan berpengaruh pada pergeseran
perilaku pelanggan untuk beralih operator (switching behavior). Kalau hal ini terjadi, maka tidak mustahil
kalau pada gilirannya nanti loyalitas pelanggan terhadap suatu produk atau
operator telepon tertentu menjadi sesuatu yang sulit dicapai. Pelanggan mungkin saja tetap mendapat
kepuasan terhadap suatu operator tertentu, namun tetap saja mereka beralih
operator, karena alasan satu dan lain hal.
Sebagai penutup, dalam jangka yang menengah, perilaku
beralih akan memberi peluang bagi munculnya perilaku oportunis yang hanya
mementingkan kemanfaatan sesaat dan tidak mempedulikan keberlanjutan layanan
prima yang diberikan kepada pelanggan.
Hal yang sudah jamak dijumpai kalau sekarang ini seseorang memiliki dua
atau lebih nomor telepon seluler. Hal
ini tentu saja bukan semata-mata untuk tujuan menghindar dari pelacakan
terhadap suatu nomor, tetapi lebih sebagai bentuk pencarian kenyamanan dalam
melakukan percakapan melalui telepon seluler. Harapannya adalah bahwa pelanggan,
terutama pelanggan individual, akan mendapatkan nilai yang optimal dari harga
layanan telepon seluler yang diberikan oleh para operator. Semoga.
Pengerian pasar Monopoli
Pasar monopoli akan terjadi jika di dalam pasar konsumen
hanya terdiri dari satu produsen atau penjual. Contohnya seperti microsoft
windows, perusahaan listrik negara (pln), perusahaan kereta api (perumka), dan
lain sebagainya. Sifat-sifat pasar monopoli :
- Hanya terdapat satu
penjual atau produsen
- Harga dan jumlah
kuantitas produk yang ditawarkan dikuasai oleh perusahaan monopoli
- Umumnya monopoli
dijalankan oleh pemerintah untuk kepentingan hajat hidup orang banyak
- Sangat sulit untuk
masuk ke pasar karena peraturan undang-undang maupun butuh sumber daya yang
sulit didapat
- Hanya ada satu
jenis produk tanpa adanya alternatif pilihan
- Tidak butuh
strategi dan promosi untuk sukses
Contoh kasus monopoli yang dilakukan oleh PT. PLN
PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) adalah perusahaan
pemerintah yang bergerak di bidang pengadaan listrik nasional. Hingga saat ini,
PT. PLN masih merupakan satu-satunya perusahaan listrik sekaligus
pendistribusinya. Dalam hal ini PT. PLN sudah seharusnya dapat memenuhi
kebutuhan listrik bagi masyarakat, dan mendistribusikannya secara merata.
Usaha PT. PLN termasuk kedalam jenis monopoli murni. Hal ini
ditunjukkan karena PT. PLN merupakan penjual atau produsen tunggal, produk yang
unik dan tanpa barang pengganti yang dekat, serta kemampuannya untuk menerapkan
harga berapapun yang mereka kehendaki.
Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam
dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Sehingga. Dapat disimpulkan bahwa monopoli pengaturan, penyelengaraan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan
hubungan hukumnya ada pada negara. Pasal 33 mengamanatkan bahwa perekonomian
Indonesia akan ditopang oleh 3 pemain utama yaitu koperasi, BUMN/D (Badan Usaha
Milik Negara/Daerah), dan swasta yang akan mewujudkan demokrasi ekonomi yang bercirikan
mekanisme pasar, serta intervensi pemerintah, serta pengakuan terhadap hak
milik perseorangan. Penafsiran dari kalimat “dikuasai oleh negara” dalam ayat
(2) dan (3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya dalam bentuk
kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan pengaruh agar
perusahaan tetap berpegang pada azas kepentingan mayoritas masyarakat dan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Fungsi PT. PLN sebagai pembangkit, distribusi, dan transmisi
listrik mulai dipecah. Swasta diizinkan berpartisipasi dalam upaya pembangkitan
tenaga listrik. Sementara untuk distribusi dan transmisi tetap ditangani PT.
PLN. Saat ini telah ada 27 Independent Power Producer di Indonesia. Mereka
termasuk Siemens, General Electric, Enron, Mitsubishi, Californian Energy,
Edison Mission Energy, Mitsui & Co, Black & Veath Internasional, Duke
Energy, Hoppwell Holding, dan masih banyak lagi. Tetapi dalam menentukan harga
listrik yang harus dibayar masyarakat tetap ditentukan oleh PT. PLN sendiri.
Krisis listrik memuncak saat PT. Perusahaan Listrik Negara
(PT. PLN) memberlakukan pemadaman listrik secara bergiliran di berbagai wilayah
termasuk Jakarta dan sekitarnya, selama periode 11-25 Juli 2008. Hal ini
diperparah oleh pengalihan jam operasional kerja industri ke hari Sabtu dan
Minggu, sekali sebulan. Semua industri di Jawa-Bali wajib menaati, dan sanksi
bakal dikenakan bagi industri yang membandel. Dengan alasan klasik, PLN
berdalih pemadaman dilakukan akibat defisit daya listrik yang semakin parah
karena adanya gangguan pasokan batubara pembangkit utama di sistem kelistrikan
Jawa-Bali, yaitu di pembangkit Tanjung Jati, Paiton Unit 1 dan 2, serta
Cilacap. Namun, di saat yang bersamaan terjadi juga permasalahan serupa untuk
pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU Muara Tawar dan PLTGU Muara
Karang.
Dikarenakan PT. PLN memonopoli kelistrikan nasional,
kebutuhan listrik masyarakat sangat bergantung pada PT. PLN, tetapi mereka
sendiri tidak mampu secara merata dan adil memenuhi kebutuhan listrik
masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan
listriknya belum terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik secara
sepihak sebagaimana contoh diatas. Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak
sedikit bagi masyarakat, dan investor menjadi enggan untuk berinvestasi.
Daftar pustaka :
http://lppcommunity.wordpress.com/2009/01/08/etika-bisnis-monopoli-kasus-pt-perusahaan-listrik-negara/
myunanto.staff.gunadarma.ac.id
http://mmugm.ac.id/index.php/indexmanagementthough/775-perilaku-oligopoli-pada-industri-telekomunikasi
Komentar